Sigit Wibowo Soroti Tingginya Angka Golput di Pilkada Kaltim 2024
jurnalharian.com,
Sigit Wibowo, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terkait tingginya angka golongan putih (golput) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Kalimantan Timur. Berdasarkan data resmi yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka partisipasi masyarakat tercatat hanya sebesar 57,15 persen, sementara sekitar 42,85 persen atau lebih dari satu juta pemilih memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka.
Menurut Sigit, angka golput yang tinggi ini merupakan sebuah masalah yang serius dan harus mendapat perhatian khusus dari semua pihak. “Tingginya angka golput ini menjadi catatan yang sangat memprihatinkan, karena seharusnya setiap warga negara memiliki kesadaran untuk menggunakan hak pilih mereka. Ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang menentukan masa depan daerah kita,” ungkap Sigit Wibowo melalui pesan singkatnya, Jumat (29/11/2024).
Sigit Wibowo mengidentifikasi beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024. Salah satunya adalah kedekatan jadwal antara Pilkada dengan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Menurutnya, pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang hanya berjarak beberapa bulan menyebabkan kebosanan politik di kalangan masyarakat. “Bagi banyak orang, pemilu dan pilkada yang digelar dalam waktu yang sangat dekat ini menimbulkan rasa kelelahan emosional dan psikologis. Mereka merasa sudah cukup terlibat dalam pemilu sebelumnya, sehingga enggan untuk kembali memilih,” tambahnya.
Selain itu, Sigit Wibowo juga menyoroti ketidakpuasan masyarakat terhadap calon pemimpin yang tersedia. Banyak warga merasa bahwa kandidat yang ada tidak mewakili harapan mereka, atau tidak mampu membawa perubahan yang diinginkan. “Masalah klasik lainnya adalah kurangnya ketertarikan terhadap calon pemimpin, karena masyarakat merasa tidak ada pilihan yang benar-benar sesuai dengan harapan mereka,” kata Sigit.
Selain faktor politik, Sigit juga menyebutkan pentingnya peningkatan pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat. Banyak warga yang belum menyadari betapa besar dampak keputusan pilkada terhadap kehidupan mereka sehari-hari. “Pemilihan kepala daerah bukan sekadar soal memilih siapa yang memimpin, tetapi juga soal kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, seperti harga barang, pelayanan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur,” jelasnya.
Sigit Wibowo, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terkait tingginya angka golongan putih (golput) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Kalimantan Timur. Berdasarkan data resmi yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), angka partisipasi masyarakat tercatat hanya sebesar 57,15 persen, sementara sekitar 42,85 persen atau lebih dari satu juta pemilih memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka.
Menurut Sigit, angka golput yang tinggi ini merupakan sebuah masalah yang serius dan harus mendapat perhatian khusus dari semua pihak. “Tingginya angka golput ini menjadi catatan yang sangat memprihatinkan, karena seharusnya setiap warga negara memiliki kesadaran untuk menggunakan hak pilih mereka. Ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang menentukan masa depan daerah kita,” ungkap Sigit Wibowo melalui pesan singkatnya, Jumat (29/11/2024).
Sigit Wibowo mengidentifikasi beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024. Salah satunya adalah kedekatan jadwal antara Pilkada dengan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Menurutnya, pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang hanya berjarak beberapa bulan menyebabkan kebosanan politik di kalangan masyarakat. “Bagi banyak orang, pemilu dan pilkada yang digelar dalam waktu yang sangat dekat ini menimbulkan rasa kelelahan emosional dan psikologis. Mereka merasa sudah cukup terlibat dalam pemilu sebelumnya, sehingga enggan untuk kembali memilih,” tambahnya.
Selain itu, Sigit Wibowo juga menyoroti ketidakpuasan masyarakat terhadap calon pemimpin yang tersedia. Banyak warga merasa bahwa kandidat yang ada tidak mewakili harapan mereka, atau tidak mampu membawa perubahan yang diinginkan. “Masalah klasik lainnya adalah kurangnya ketertarikan terhadap calon pemimpin, karena masyarakat merasa tidak ada pilihan yang benar-benar sesuai dengan harapan mereka,” kata Sigit.
Selain faktor politik, Sigit juga menyebutkan pentingnya peningkatan pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat. Banyak warga yang belum menyadari betapa besar dampak keputusan pilkada terhadap kehidupan mereka sehari-hari. “Pemilihan kepala daerah bukan sekadar soal memilih siapa yang memimpin, tetapi juga soal kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, seperti harga barang, pelayanan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur,” jelasnya.(adv)
– apri